02 November 2017 | 0 Komentar | Artikel Pemantik | Administrator | Dibaca 2457x
SURAU DAN MERANTAU
Adriano Rusfi
Masa lalu sering menghadirkan kearifan lokal yang terlupakan, karena kita larut terpukau dengan modernitas. Masa lalu memang bukan untuk disembah, namun ia adalah warisan titipan Allah untuk menjadi hikmah. Bagi kaum romantik, masa lalu adalah candu yang harus dijaga orisinalitasnya, karena musuh dari nostalgia adalah improvisasi. Bagi kaum futuristik, masa lalu adalah gerobak tua yang harus ditinggal, karena memberatkan perjalanan ke masa depan. Sedangkan bagi kaum pemberadab, masa lalu adalah kearifan cerdas untuk bekal ke kegemilangan masa depan.
Maka, Minangkabau punya surau. Jangan keliru, surau bukan pesantren. Surau adalah tempat pembekalan bagi setiap lelaki “nan alah bujang” (yang sudah bujangan) alias telah aqil-baligh, yang kelak akan menuntut ilmu diperantauan. Ya, surau adalah sebuah finishing-starting point bagi pasca anak-anak yang telah selesai tarbiyahnya di rumah, oleh ayahbundanya. Jadi, surau bukan untuk anak-anak (belum aqil-baligh). Surau adalah rumah para bujangan.
Di surau, para lelaki belajar agama, beladiri dan kehidupan. Mentor mereka adalah seorang inyiak-badaik (marbot) : generalis serba bisa yang sangat menyenangkan. Kisah-kisah menjelang tidurnya sangat memukau, agamanya begitu humanis dan aplikatif, beladirinya memadai untuk membangun kepercayaan diri, sedangkan ilmu kehidupannya mumpuni untuk memijak bumi dan menjunjung langit : Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung….
Sesekali para bujang surau kedatangan tutor : para bujang perantau yang rindu kampung. Para perantau itu pasti tidur di surau pula. Maklumlah, bujangan memang tak punya rumah di Minangkabau. Lalu, sambil dipijit kaki dan badannya, sang tutor akan ikhlas berbagi ilmu dan pengalaman dari tanah rantau. Tentunya setelah dirayu berkali-kali oleh para bujang surau, karena bicara dan merayu (marketing) adalah ilmu sangat penting lainnya bagi calon perantau.
Lalu, ketika saatnya tiba, maka bujang suraupun akan menjadi bujang perantau : “Karatau madang ka hulu…. babuah babungo balun…. marantau bujang dahulu…. di rumah baguno alun…”
Nah, inilah hakikat menuntut ilmu yang sebenarnya : merantau !!! Berbekal modal seadanya, ia arungi kerasnya hidup, berkhidmat dari guru yang satu ke guru yang lain. Mungkin waktunya lebih banyak di pengembaraan daripada di majelis-majelis ilmu. Tapi itulah menuntut ilmu, karena di pengembaraanpun tersedia begitu banyak ilmu Allah. Itulah menuntut ilmu : ilmu yang diperas melalui perjuangan, pengorbanan, keletihan, darah, keringat dan air mata.
Itulah “pondok pesantren”nya Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Itulah “pondok pesantren”nya Ahmad Khatib AlMinangkabawi, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, Buya HAMKA. Jangan heran jika ilmu, pemahaman dan madzhab fiqh mereka begitu beragam, karena guru-guru mereka begitu beraneka. Jangan heran jika mereka saling berbeda, namun saling cinta dan toleran, karena mereka tak pernah berhenti di sebuah fikrah.
Untuk kesekian kalinya, sebuah kearifan lokal telah menginspirasi saya dengan sebuah gagasan : Moving (not boarding) School !!! Sebuah konsep SURAU MERANTAU yang merevitalisasi kembali khasanah menuntut ilmu, bukan sekadar menimba ilmu, secara berpindah : Guru – Kehidupan – Guru. Sudah saatnya kita menghentikan kedangkalan ilmu dan fanatisme guru.
Surau dan Merantau adalah pemikiran brilyan dan futuristik dari ninik-mamak kita dahulu.
Mari bayangkan : Mengapa lelaki Minang merantau, padahal negerinya sangat indah, kaya, subur dan makmur? Bukankah tradisi merantau itu biasanya milik suatu daerah yang gersang, tandus dan minus? Sesungguhnya merantau adalah solusi, karena pemuda negeri makmur biasanya pemalas. Merantau adalah obat atas kemalasan.
Begitu pula dengan surau. Ini adalah ajaran kemandirian, BAHWA PEMUDA AQIL-BALIGH HARUS MENINGGALKAN RUMAH !!! Ke mana? Ya ke surau, sebelum ke rantau. Karena surau adalah rumah persiapan. Kurikulum surau hanya satu, yaitu life-competence : agama, beladiri, kehidupan dan entrepreneurship.
Tetapi lagi-lagi kita membuang kearifan lokal kita sendiri. Bujang tinggal di surau telah dianggap “adaik lamo pusako usang”. Harusnya kita memperlakukan sejarah dalam perspektif peradaban masa depan :
Baju dipakai maka kan usang
Adat dipakai maka kan baru
Mari kita hidupkan tradisi berkelana menuntut ilmu (manuntuik). Ilmu sejati itu kita datangi, bukan guru yang mendatangi kita. Karena alam Minangkabau itu sejauh mata memandang :
Dari Taratak air hitam sampai ke sikilang Air Bangis
Dari riak nan berdebur sampai ke Durian nan ditekuk raja
Antara SURAU dan LAPAU
Mengapa surau selalu saja digambarkan dalam foto-foto indah sebagai berada di tengah-tengah antara tabek (kolam ikan) dengan sawah?
Karena surau adalah sebuah primary life, bahwa di surau Si Bujang harus mampu self-help dan personal survival. Siangnya ia di sawah… Saat panen ikan ia menguras tabek untuk dimakan dan dijual… saat senggang mereka di lapau untuk makan, mengopi dan berdiskusi (maota) tentang isu-isu aktual… Sedangkan sore hingga malam mereka bersilat, belajar, mengaji dan mendengar petuah-petuah dari inyiak-badaik.
Ini adalah fullday-life, bukan fullday school. “Schooling” mereka hanyalah dari sore hingga menjelang tidur. Bagi masyarakat dengan prinsip “Alam Takambang Manjadi Guru”, bertani adalah belajar… bertabek adalah belajar… nongkrong di warung kopi adalah belajar…. maota adalah belajar…
Bukankah belajar tidak harus sekaku di sekolah?
Surau dalam perjalanannya tak pernah berpisah dengan lapau. Ini adalah dua entitas yang menyatu. Surau bukanlah “the sacred place”, dan lapau bukanlah “the profane place”. Surau bukanlah tempatnya malin (orang baik), sedangkan lapau bukanlah tempatnya parewa (preman). Tetapi keduanya adalah “The life space” : ruang kehidupan.
Surau mungkin tempat untuk serius, ilmiah dan faktual. Namun setiap hamba Allah butuh relaksasi, agar orang surau-pun tak kehilangan human touch. Maka di lapau lah orang surau merelaksasi dirinya. Mereka bisa berceloteh, ngobrol ngalor-ngidul membahas topik aktual tanpa harus argumentatif. Jika di surau Si Bujang mendapatkan logika, maka di lapau mereka melatih retorika.
Kaki manusia itu berada diantara surau dan lapau. Surau bukan sisi putih dan lapau bukan sisi hitam. Mungkin akan lebih tepat jika dikatakan bahwa surau adalah sisi imani (yaa ayyuhalladziina aamanuu), sedangkan lapau adalah sisi insani (yaa ayyuhannaas). Jika keduanya dikelola dengan baik, akan berakhir di pintu surga.
Dapat dikatakan kecakapan merantau didapatkan di surau dan lapau sekaligus. Tetapi itu kisah lama. Kini surau dan lapau telah dipisahkan, bahkan dipertentangkan. Yang satu menjadi tempatnya malaikat, yang lainnya menjadi tempatnya setan. Lalu, tak satupun yang menjadi tempatnya manusia… Ketika surau dan lapau dihitam-putihkan, maka yang punya “rumah” hanyalah malaikat dan syaithan. Manusia melayang-layang antara langit dan bumi karena hilang pijakan.