17 Agustus 2018 | 0 Komentar | Artikel Pemantik | Administrator | Dibaca 2165x
"....Kemerdekaan hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berpikir, yaitu jangan selalu "dipelopori", atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain, akan tetapi biasakanlah anak-anak mencari sendiri segala pengetahuan dengan menggunakan pikirannya sendiri..." - Ki Hajar Dewantara (Buku Peringatan Taman Siswa 30 tahun, 1922 - 1952).
Kutipan di atas, kembali mengingatkan para
orangtua dan pendidik negeri ini yang sudah 73 tahun merdeka, dengan satu
kalimat tanya,
"Apakah anak-anak kita sudah merdeka belajar?"
"Apakah selama ini kita lebih cenderung
menjejalkan sebuah konsep pemikiran kita ke anak-anak atau sebaliknya kita
lebih sering mendengarkan suara anak?"
Menurut Ki Hajar Dewantara, dalam pendidikan
harus senantiasa diingat bahwa kemerdekaan itu bersifat tiga macam: BERDIRI
SENDIRI, TIDAK BERGANTUNG PADA ORANG LAIN dan DAPAT MENGATUR DIRI SENDIRI.
BERDIRI SENDIRI
Kemerdekaan belajar mengakui anak sebagai subyek belajar, bukan objek. Anaklah yang menentukan. untuk apa dia belajar dan mempelajari sesuatu, anak memiliki kewenangan dan inisiatif dalam belajar.
TIDAK BERGANTUNG PADA ORANG LAIN
Secara alamiah kehidupan sehari-hari anak
mulai dari bangun tidur sampai mau tidur lagi adalah proses aktivitas belajar.
Anak-anak mencoba mencari jawaban dari rasa ingin tahunya yang tinggi, tanpa
bergantung ada orang dewasa di sekitarnya atau tidak.
Anak-anak itu pembelajar sejati, kita saja sebagai orang dewasa yang selalu menganggap anak-anak itu tidak tahu apa-apa, dan kita yang serba tahu, sehingga harus mengajarinya terus menerus.
DAPAT MENGATUR DIRI SENDIRI
Anak mampu mengelola diri akan kebutuhan
belajarnya. Memilih cara dan media belajar yang sesuai dengan gaya belajarnya
serta kondisi lingkungan sekitar dimana ia dibesarkan. Jadwal belajar anak tidak
ditentukan dan dibuat oleh orang dewasa di sekitarnya, baik itu guru di sekolah
maupun orang tua di rumah. Anak memaknai semua waktu adalah waktu belajar, kita
saja yang mengkotakkan ada waktu anak untuk belajar, dan memaknai di luar waktu tersebut berarti bukan belajar.
Anak yang berada dalam kemerdekaan belajar
bisa mengatur jadwal belajarnya untuk mencapai tujuan belajar masing-masing.
Apakah semua anak lahir merdeka? saya yakin
semua pasti akan menganggukkan kepala dan menjawab,
"iya".
Sejak lahir anak-anak sudah memiliki empat hal fitrah kemerdekaan dalam belajar yaitu:
Memiliki
rasa ingin tahu yang tinggi (Intellectual
Curiosity).
Memiliki
daya imajinasi kreativitas yang tinggi (Creative
Imagination).
Memiliki
kemampuan berpikir untuk menemukan suatu pengetahuan yang sudah ada maupun hal
baru (Art of Discovery and Invention).
Memiliki
akhlak mulia (Noble Attitude)
terhadap proses penemuan ilmu.
Keempat hal tersebut terbukti sejak bisa
berjalan dan berbicara anak-anak tak henti-hentinya untuk menanyakan segala
macam yang memantik rasa ingin tahunya ke orang dewasa, bahkan tak jarang dari
mereka mengulang-ulang pertanyaannya tanpa henti.
Tiba-tiba mereka bisa membuat semua benda yang
ada di sekitarnya menjadi alat permainan yang menggembirakan karena
berkolaborasi dengan imajinasi anak-anak yang tinggi. Keseharian anak-anak
menjadi sesuatu yang dinamis, karena selalu diwarnai "Aha! Moment", teriakan "Aha!" "Ooo" "Wow!" selalu kita
temukan di sela-sela keseruannya belajar.
Pertanyaan berikutnya, "Apakah ketika
masuk usia sekolah, kemerdekaan belajar anak masih terawat dengan baik?"
Kemerdekaan belajar adalah modal dasar bagi
setiap anak agar menjadi pembelajar seumur hidup. Tanpa adanya kemerdekaan
belajar, anak akan belajar dengan penuh paksaan, tanpa dilandasi sebuah
kesadaran.
BAGAIMANA MEWUJUDKAN KEMERDEKAAN BELAJAR?
DI RUMAH
Siapkanlah buku "Rasa ingin tahuku"
yang dimiliki oleh masing-masing anak. Bukalah selalu obrolan Ayah Bunda dan
anak-anak dengan mengulik rasa ingin tahu mereka. Tanyakanlah "Apa yang
ingin kalian ketahui pagi ini?'. Ijinkanlah anak-anak untuk menyampaikan
suaranya dan rasa ingin tahunya. Bagi yang sudah menulis silakan menulis di
buku masing-masing. Bagi yang belum bisa menulis, silakan dengarkan suara
anak-anak.
Apabila rasa ingin tahu anak muncul
sewaktu-waktu, siapkanlah satu kertas flipchart
dan spidol di salah satu dinding rumah kita, agar kita bisa mencatatnya
kapanpun.
Ajak anak-anak untuk mencari jawaban dari rasa
ingin tahu tersebut dari berbagai sumber media belajar yang ada. Biarkanlah
mereka menemukan jawaban sebanyak mungkin, sehingga membuat anak menemukan
ribuan pengetahuan dari satu pertanyaan yang dilontarkan. Tugas orang tua
adalah memicu anak untuk terus mencari jawaban, bukan memberikan jawaban versi
orang tua sebagai jawaban yang paling benar. Ingat, mendidik itu bukan membuat
anak bisa menjawab 1000 pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya, mendidik
itu menstimulus anak bertanya 1 pertanyaan yang membawanya menemukan 1000
pengetahuan.
Dengarkan suara anak, apa saja yang mereka
temukan selama proses mencari sebuah jawaban dari setiap pertanyaan yang muncul
dari diri mereka.
Ulangi lagi prosesnya apabila muncul rasa
ingin tahu dari setiap proses petualangan mencari ilmu yang dijalani oleh
anak-anak.
DI SEKOLAH
Buka pagi hari di sekolah dengan kegiatan yang menyenangkan. Misal dengan menulis jurnal pagi yang akan menjadi media suara hati anak di sekolah, atau membuka forum-forum dialog antara guru dan anak dalam kondisi yang rileks dan tenang.
Ubah pola pikir guru sebagai orang yang serba
tahu dan ingin mentransfer semua ilmunya ke kepala anak-anak, menjadi orang
yang menjadi teman belajar anak-anak. Memfasilitasi proses belajar anak,
sehingga anak-anak menemukan jawaban dari setiap pertanyaan yang muncul. ingat,
menjadi guru itu bukan mengajar, tetapi menjadi teman belajar.
Ajak siswa untuk membuat tujuan belajarnya,
apa yang ingin dicapainya, ajak mereka diskusi satu kelas. Kemudian rencanakan
jadwal kelas yang disepakati bersama untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Gunakan konsep "The Power of Question" saat menempati posisi menjadi guru,
jangan banyak menjelaskan, banyaklah membuat pertanyaan. Begitu juga sebaliknya
ketika anak-anak diberi kesempatan mempresentasikan hasil belajarnya, saat itulah
posisi guru bisa berubah peran menjadi murid. Sehingga konsep semua murid,
semua guru akan berjalan dengan cantik di dalam kemerdekaan belajar.
Ulangi sekali lagi prosesnya setiap kali
anak-anak menemukan jawaban dari setiap pertanyaan yang ada, dan muncul lagi
rasa ingin tahu.
Kita hidup di negeri yang merdeka, tetapi tidak banyak anak-anak Indonesia yang merasakan bagaimana rasanya merdeka dalam belajar.
Maka apabila diijinkan untuk menambahkan hak
anak, maka saya mengusulkan kemerdekaan belajar itu adalah hak setiap anak yang
harus diperjuangkan.
MERDEKA ATAU MATI!
(Septi Peni Wulandani)